“ Kamu yang sabar ya, ikhlasin
saja. Nanti dapat pengganti yang lebih baik dari dia.” Sebuah nasihat bijak
yang pernah saya dapatkan di usia yang begitu muda. Ya, semua itu salah saya
juga sih. Salah sendiri tidak mendengarkan apa kata orang tua. Jatuh cinta sekaligus
patah hati di usia dini. zaman dulu dengan sekarang tentu saja berbeda. Kalau dulu
banyak yang tamat sekolah menengah atas memilih menikah karena sudah menjalin
kasih saat masin mengenyam pendidikan.
Namun ada juga sih yang memilih
melanjutkan pendidikan tinggi bagi orang tuanya yang mampu. Ya, gak salah kalau
begitu lulus sekolah ada yang patah hati karena disakiti kekasihnya karena ditinggal
menikah. Siapa yang ditinggal menikah, saya? Oh tentu saja iya hahaha.
Saya yang masih muda dan awam
urusan cinta-cintaan, bisa-bisanya tertipu bujuk rayu seseorang yang usianya terpaut
jauh. Apalagi terbilang masih tetangga sendiri, makanya saat mendengar kabar
kalau dia mau menikah dengan perempuan lain, sementara dia masih menjalin
hubungan dengan saya? Betapa sakit dan hancur hati saya. Bahkan kata maaf yang
berulang kali dia lontarkan, tidak ada artinya lagi.
Sejak saat itu saya sulit
memaafkan dan melupakan orang yang melukai hati. Karena dampak dari peristiwa
tersebut cukup menganggu kehidupan saya di masa depan. Saya jadi pribadi yang
tertutup dan pendiam. Bagi saya memaafkan tak semudah membalik telapak tangan. Butuh
perjuangan dan keikhlasan hati yang besar.
Satu hal yang saya syukuri, saya akhirnya
bisa keluar dari tempat tinggal masa remaja. Saya bahkan pernah melarikan diri
dengan bekerja keluar negeri untuk menyembuhkan diri dari luka-luka batin karena
orang tersebut. Saat kembali dipertemukan dengan orang tersebut, saya sudah
berusaha memaafkan namun tidak akan pernah melupakan caranya menyakiti saya.
Sampai pada satu titik saya
mendapat kabar dari orang tua, kalau orang tersebut meninggal dengan cara yang
tragis. Saya memaafkan dengan ikhlas semua yang pernah membuat terluka. Sudah tidak
ada artinya kan menyimpan sakit hati dan dendam pada orang yang sudah
meninggal?
Pengalaman Adalah Guru Berharga dalam Kehidupan
Pengalaman disakiti dan memaafkan
rasanya selalu mengiringi perjalanan hidup. Beberapa kali terbentur dengan
orang yang mudah menyakiti dan mudah meminta maaf. Bahkan kasus serupa di masa
muda terjadi kembali di masa-masa pencarian jodoh.
Saat itu usia saya yang tak lagi
muda, seperempat abad tepatnya. Kalau di desa usia segitu belum menikah, duh
omongan tetangga sama nyakitin telinga dan hati. Dibilang perawan tua lah, suka
pilih-pilih lah ( urusan pilih-pilih tentu saja wajib, memilih pasangan hidup
kan untuk seumur hidup ). Saya yang masih sibuk bekerja, sementara teman-teman
seumuran sudah menikah dan punya anak.
Saya pernah membuka hati kembali
untuk menjemput jodoh. Saya mengenalnya lewat dunia maya, jarak saya dengannya
cukup jauh Hong Kong – Mekah. Saya sudah sempat membicarakan tentang kelanjutan
niat baiknya yang ingin menikahi saya. Saya percaya ya walau belum pernah
bertemu? Tentu saja, karena saya melihat agamanya baik, ramah, bertanggung
jawab dan bonusnya ganteng hahaha.
Namun dibalik semua itu, dia
menghianati saya dengan diam-diam mendekati teman baik saya. Bayangkan saya
ditikam dari belakang dua orang sekaligus. Rasanya saat itu saya tidak akan
bisa memaafkan perlakuan mereka. Seiring waktu saya berusaha untuk memaafkan,
bahkan mana kala saya mendengar kalau mereka akhirnya menikah saudara-saudara. Ya,
mungkin lelaki itu bukan jodoh terbaik saya walaupun agamanya baik dan ganteng
hahaha ( bahas saja terus gantengnya )
Memaafkan tapi tidak melupakan
apa yang sudah terjadi di masa lampau itu. Ikhlas itu mudah diucapkan, seperti
halnya kata maaf tapi butuh proses panjang untuk menjalankannya.
Rasanya saya sudah lelah ya
disakiti dan memaafkan. Hidup kok rasanya cuma buat mengalami dua hal tersebut.
Saya pun tutup buku untuk urusan hati sampai akhirnya saya mengenal seseorang
tanpa sengaja (sengaja kok karena dikenalkan). L
Kok gak belajar dari pengalaman
sih, kenal orang lewat dunia maya mulu kan beresiko. Tapi ini kan dikenalin
teman, pastinya bisa dipercaya dong. Memiliki persamaan hobi jadi bikin nyambung
ngobrolnya. Saya sudah lupa itu sama sakit hati dikhianati mantan dan teman. Secara
orang ini, agak beda dari lainnya. Kalau lainnya sudah kenalan sama saya pasti
obral omongan manis. Dia? Beuh kayak es kutub utara. Dingin, cuek kalau balas
pesan singkat-singkat dan diakhiri “ hehe” sangat menyebalkan.
Meskipun begitu ya tetap saja seru
dan nyaman ngobrol sama itu orang. Benih-benih kasih pun tumbuh. Nah disinilah petaka
itu hadir, selama komunikasi denganya saya tidak pernah menanyakan statusnya. Apakah
sudah memiliki kekasih atau sudah menikah? Bodohnya saya lagi-lagi gak belajar
dari pengalaman.
Suatu ketika dia menghilang tanpa
kabar dan komunikasi. Namanya terpisah jarak yang jauh, saya tidak bisa berbuat
apa-apa. Sampai akhirnya teman saya, yang teman dia juga memberitahu kalau dia
menikah. Duaar! Kenapa saya harus berulang kali mengalami hal yang sama? Sakit hati?
Sangat. Terluka dan sedih di perantauan itu sungguh menyakitkan.
Saya yang berusaha menguatkan
diri dan hati, suatu hari dia datang dengan permintaan maaf dan rasa
menyesalnya memperlakukan saya begitu. Dia berdalih akan memberitahunya sendiri
tapi terlambat, saya sudah tahu dari temannya. Apakah saya memaafkan? Tidak! Saya
sudah lelah disakiti dengan cara yang sama. Waktu saya tanya kenapa dia begitu?
Tahu apa jawabnya? “ Lha kamu gak tanya? “ Oh God. Dasar lelaki memang
begitu ya, ya bagaimana perlakuan dia manis sekali, manggilnya sayang-sayang setiap
hari. Ternyata dibalik itu sudah punya tunangan. Huh.
Saya lelah buat memaafkan orang-orang
yang melukai. Tapi menyimpan amarah di hati berlarut-larut juga tidak baik buat
kesehatan jiwa kan. Bahkan bisa berujung jadi penyakit. Seiring waktu akhirnya
saya bisa memaafkan tapi tidak akan melupakannya. Biarin dia menyesal seumur
hidupnya menyakiti saya.
Percayalah, saat sakit hatimu
berangsur -angsur sembuh dan memaafkan, jalan hidup akan terasa lebih ringan. Hati
jadi tenang dan tidak menyimpan prasangka lagi. Ya, memaafkan memang tidak bisa
cepat apalagi instan, semua butuh waktu dan proses. Saya tidak hanya mengalami
sakit hati karena urusan asmara, namun juga keluarga dan pertemanan. Bahkan sakitnya
perlakuan pertemanan dan rasa kehilangan itu masih teringat. Saya memilih memaafkan
semua itu, karena semua yang terjadi dalam hidup ini sudah kehendakNya. Saya tetap
bersikap baik dan tidak membalas perlakuan teman tersebut.
Saya hanya ingin menjalani hidup
dengan damai tanpa menyimpan dendam walau zodiak saya konon katanya tipe pendendam.
Padahal memiliki sifat itu pun sama tidak enaknya dengan disakiti. Lebih baik
memaafkan orang yang pernah melukai.
Terimakasih sudah berbagi cerita
BalasHapuskalau udah merasa sakit hati, kayaknya mau memaafkan agak susah susah gimana gitu.Tapi kalau ga ikhlas memaafkan kayak dosa aja. Susah juga
BalasHapusaku pernah di posisi kayak gini juga mbak, aku berusaha melupakan dan jangan dipikir, tapi kalau disinggung lagi sama orang, jadi flashback lagi gitu dan keinget