Semasa
lajang, bisa dibilang saya orang yang sabar menghadapi segala hal. Menjalani
hidup sederhana cenderung pas-pasan pernah dengan sabar. Apapun hal yang
sekiranya membuat saya bersabar dalam hidup ini.
Bila dirunut
dengan cerita detail, mungkin akan habis berlembar-lembar halaman. Ujungnya
bisa jadi sebuah ide menulis novel kali ya hehehe. Ya, dulu dengan sekarang
jelas sekali perbedaannya. Dahulu saya sanggup bersabar ketika bekerja ke luar
negeri dengan majikan orang asing yang tidak sama dengan adat dan perilakunya.
Tidak hanya sampai di situ, saya termasuk orang yang sabar menanti jodoh.
Bagaimana tidak, di usia saya waktu itu nyaris semua teman sebaya maupun zaman
sekolah telah menemukan jodohnya dan memiliki anak. Sementara saya masih harus
bersabar hingga menemukan jodoh saya.
Namun semua
serasa berbeda setelah saya menemukan jodoh, menikah dan memiliki anak.
Sungguh, kesabaran yang dulu pernah saya miliki tak ada apa-apanya. Entah,
berapa banyak lagi stok sabar yang harus saya miliki. Karena kini bukan hanya
menghadapi suami dan keluarga, tetapi telah ada anak. Ya, anak yang saya
nantikan dengan sabar setelah Sembilan bulan dalam kandungan.
Kenyatannya?
Kemana kesabaran yang saya punya dulu untuk mengahadapi Aiman, putra pertama
saya? Sedari awal saya terus memupuk sikap sabar dalam membesarkan dan merawat
Aiman. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya sering merasa tak sabar
menghadapi polah Aiman. Mulai dari dia menangis, memuntahkan makanannya hingga
sikap merengek yang tak saya tahu maksud keinginannya.
Tanpa sadar
saya sempat keceplosan sedikit membentak atau meninggikan nada suara. Sungguh,
semua ilmu yang saya pelajari di buku parenting menguap. Sehabis bersikap
begitu, batin saya yang menangis dan memberontak. Acapkali kalau saya sudah di
ambang batas kesabaran, saya memilih menyingkir dari hadapan Aiman sejenak.
Menarik nafas sekaligus istighfar atas sikap saya yang tidak seharusnya
dilakukan pada Aiman. Namun saya hanya manusia biasa, ibu yang sampai kapanpun
belajar menjadi ibu yang bijak untuk anak-anak saya kelak. Tidak ada sekolah bagi
orang tua, namun bukan berarti tidak mau belajar.
Sebuah
harapan kecil, semoga saya bisa lebih sabar merawat dan membimbing Aiman hingga
kelak waktunya saya lepas, aamiin.
Maafkan mama
ya, Nak, bila sengaja maupun tidak membuat hatimu terluka, peluk Aiman…
Malang, 31 Oktober 2013
aaamin...
BalasHapussemakin besar anak, harus semakin diperbanyak stok kesabarannya mbak.. apalagi kalo nongol lg adiknya, dikali dua..:D
tapi kembali lagi Alloh tidak akan menguji, melainkan dengan kadar kesanggupan umat2nya, bukan?:)
sama sy juga begitu, mari sama2 kita belajar...^^
Iya mbak, aku pun berpikiran begitu. Hanya saja kalau dia besar kemungkinan ditanya maunya apa masih bisa menjawab, lain halnya sekarang masih dalam bentuk rengekan :D
Hapusamiin....
BalasHapushuft..menjadi ibu memang berat...
saya sebagai seorang laki-laki juga mesti instrospeksi diri sejak kini...
bahwa seorang istri punya tugas berat yang mesti mendapat bantuan suami secara lebih extra...
ya..untuk membentak anak...saya kira jangan pernah..anak harus dididik selembut mungkin.....
kelak insyaallah akan menjadi anak yang luar biasa
Iya, dengan seiring pertumbuhannya . saya semakin belajar untuk sabar :)
Hapusaminn... semoga kembali menemukan kesabaran dan mengaplikasikannya :)
BalasHapustoh, selama mau belajar bersabar, sesekali out of control dengan marah2 menurutku juga manusiawi kok
namanya manusia tidak akan selalu sabar , lama-kelamaan yang sabar akan berontak :)
BalasHapusKapan terakhir saya menulis?
BalasHapusplease visit link Tel-U