Lika-Liku Jalan Hidup Perempuan
Penulis : Sanie B. Kuncoro
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Penerbit : Bentang ( Bentang Pustaka )
Tebal
Buku : X + 375 Halaman
Novel
ini menceritakan tentang lika-liku kehidupan empat perempuan, yang tentunya
berbeda. Berawal dari masa kanak-kanak mereka yang gemar bermain, permainan
masa kecil berupa pasaran, gobak sodor maupun delikan. Ranting, Tawangsri,
Gendhing dan Zhang Mey menghabiskan waktu dengan kebersamaan tanpa memandang
etnis, status agama maupun latar belakang keluarga. Hingga suatu hari mereka
berempat menerima undangan syukuran berupa Bancan, menandakan sebuah gerbang
menuju kedewasaan perempuan.
Keempatnya
saling berpikir, apakah kelak mereka pun mengalami hal yang sama dan melakukan
semacam tradisi tersebut. Lantas mereka menanyakan pada orang tua
masing-masing. Bermula dari Ranting yang menanyakan apa artinya perawan pada
simboknya. Gendhing yang bertanya bagaimana rasanya menjadi perawan pada
ibunya. Tawangsri yang mempertanyakan
mengapa harus menjadi perawan? Hingga Zhang Mey yang bertanya pada neneknya,
kapan dia akan mengadi perawan. Pada akhirnya mereka menjawab semua pertanyaan
tersebut, karena semua perempuan adalah perawan.
Waktu
pun beranjak dan mempertemukan mereka dengan tingkatan hidup lebih dari sekedar
masa kecil, menjadi dewasa. Diawali dengan kisah Ranting yang harus berjuang
membantu sekaligus menggantikan pekerjaan simboknya menjadi bakul karak. Bangun
dini hari mempersiapkan karaknya guna dititipkan pada bakul-bakul karak di
pasar. Bapaknya telah lama meninggal dunia, sehingga dia hidup hanya dengan
simboknya.
Suatu
hari Ranting dihadapkan pada masalah pelik dan berkaitan dengan keuangan.
Penyakit simbok yang semestinya segera diobati dan operasi terpaksa ditunda
karena ketiadaan biaya. Fatalnya, simbok mengalami kecelakaan. Jatuh dan
perutnya yang mengidap tumor terbentur ujung meja. Seketika itu simbok dibawa k
rumah sakit dengan ambulan.
Ranting
menjadi dilema, di satu sisi dia ingin simbok dioperasi. Namun di satu sisi
bagaimana dia melunasi biaya operasi. Hingga hadirlah sosok Pak Basudewo
menawarkan bantuan dengan syarat tertentu. Akankah Ranting menerima tawaran
tersebut?
Lain
halnya dengan kisah Gendhing, perempuan ini hanya sanggup menyelesaikan
pendidikannya sampai SMA. Dia harus mengubur harapan untuk bisa kuliah. Setiap
hari Gendhing berkutat dengan korang guna mencari pekerjaan yang sesuai dengan
tingkat pendidikannya. Ibunya yang hanya sebagai buruh cuci dan bapaknya tukang
becak. Dia tak bosan menekuri Koran setiap hari, namun belum ada satupun
pekerjaan yang cocok. Rata-rata lowongan tersebut mematok pendidikan minimal
diploma dan memiliki pengalaman kerja, sementara hal itu tak ada pada Gendhing.
Hingga
suatu hari, ibunya mendapat tawaran dari Cik Ming, pemilik salon langganan
ibunya mencucikan baju. Dan tanpa berpikir panjang, Gendhing pun menerima
tawaran tersebut. Cik Ming mengajarinya teknik yang berkaitan dengan salon.
Dari situlah masalah muncul. Gendhing yang kian hari makin mahir melakukan
pekerjaan salon. Dia berkenalan dengan seorang lelaki bernama Indragiri. Lelaki
tersebut sudah beristri dan mempunyai anaka. Namun mereka hidup terpisah jarak.
Istri lebih memilih menemani anaknya yang sedang kuliah di Singapura.
Gendhing
tak hanya tersandung masalah hati dengan Indagiri. Gendhing pun dihadapakan
pada masalah ekonomi. Ibunya yang ternyata diam-diam menabung pada sebuah
koperasi menggunakan uang pinjaman pada seorang Bandar justru tertipu. Bagimana Gendhing menyelesaikan kemelut
ekonomi keluarganya? Bisakah dia melunasi hutang-hutang orang tuanya? Sekelabat
bayangan Indragiri dengan tawarannya membayang. Akankah dia memilih tawaran
itu?
Begitupun
dnegan kisah Tawangsri dan Zhang Mey berbeda pula. Tawangsri yang seorang
mahasiswa ternyata tertarik dengan seorang duda beranak satu yang ditinggal
mati istrinya. Awalnya Tawangsri mengingkari perasaannya. Namun pada akhirnya
dia menyadari, hatinya telah jatuh pada lelaki bernama Jenggala yang mempunyai
putri cantk bernama Langit Biru. Akankah keduanya bersama? Sementara di sisi
lain dia ingin menyelesaikan kuliahnya.
Terakhir
diceritakan kisah Zhang Mey, seorang perempuan keturunan Cina. Mempunya
kesempatan yang sama dengan Tawangsri meraih pendidikan yang lebih baik
ketimbang Ranting dan Gendhing. Zhang Mey diam-diam menjalin hubungan dengan
Tenggar, seorang pemuda pribumi. Anak seorang petani dari Wonogiri. Hingga
suatu hari Zhang Mey menceritakan kisahnya pada papanya. Namun diluar dugaan Zhang
Mey, papanya tak merestui hubungan tersebut meski tanpa terang-terangan. Ada
hal yang membentur mengenai hubungan tersebut. Perbedaan etnis dan tradisi.
Sanggupkah Zhang Mey mempertahankan cintanya pada Tenggar?
***
Membaca
novel mengenai lika-liku kehidupan perempuan ini, mengingatkan pada garis hidup
saya dan ketiga teman perempuan semasa SMA dulu. Nyaris tiga tahun bersama
dengan segala cerita yang menyertainya. Bedanya dengan cerita novel Sanie B.
Kuncoro ini, Ranting tak sampai lulus pendidikannya, Gendhing sebatas SMA dan
Tawangsri maupun Zhang Mey sampai jenjang kuliah seperti harapan mereka.
Sebut
saja Warna, dia tak sempat menyelesaikan sekolahnya yang sebenarnya tinggal
sedikit saja dikarenakan hamil duluan dan terpaksa harus menikah. Putih selepas
lulus, memutuskan untuk menjalin serius hubungan dengan pacarnya ke jenjang
pernikahan. Pelangi membantu orang tuanya bekerja di ladang menanam jagung dan
ujungnya menikah dengan lelaki pilihannya dan memiliki anak. Sementara saya,
selepas SMA sempat membantu saudara menjaga toko, hingga memutuskan bekerja ke
luar negeri sebagai TKW. Setelah sekian tahun bekerja di sana, pulang dan
dipertemukan jodoh dengan lelaki yang bekerja sebagai abdi negara di sebuah
universitas negeri di kota Malang.
Meski
menjalani masa remaja bersama, ternyata garis hidup kami berbeda dengan segala
lika-liku yang menyertai. Begitu pun dengan cerita di novel ini ditulis dengan
bahasa yang kaya akan diksi serta dituturkan secara manis dan mengalir. Meski
didominasi dengan narasi, namun tak lantas membuat pembacanya bosan. Justru
seakan tak sabar untuk meneruskan hingga akhir bab. Selain itu novel ini tak hanya menyuguhkan
cerita kesedihan semata. Banyak pembelajaran hidup yang bisa direnungkan dari
kisah empat perempuan pada cerita ini. Menarik untuk dibaca siapapun, perempuan
itu sendiri maupun lelaki pada umumnya.
Wow...sepertinya buku yang ada harus dibaca deh, Penasaran banget baca ulasannya. Thanks ya sharingnya.
BalasHapusBuku ini memang menarik. tema dan alur ceritanya sarat pembelajaran.
HapusSama-sama. terima kasih telah berkunjung dan komen :)
sepertinya asyik nih bukunya....
BalasHapusvisit
http://wkhatulistiwa.blogspot.com/
Asyik banget mas Wawan, makasih sudah berkunjung dan baca ya :)
HapusSalam kenal :)
Apik iki ya nak Von. Marai pengin duwe. Pinter olehmu ngiming-imingi aku wkwkwkwk......
BalasHapusbagus banget Bun, saya belinya pas ada pameran buku di Malang jadi mumer dech dan gak setiap buku murah itu jelek.
HapusIni buktinya :)
Mumpung ada IBF tuh bun, siapa tahu ada. beli dan baca dech :)
Menarik nih bukunya :)
BalasHapusResensinya juga bagus.....
sangat menarik menurutku Ry, kaya akan pembelajaran sebagai perempuan.
HapusMakasih :)