Beranda rumah sederhana. Seorang gadis kecil sedang duduk sambil
memegang sebuah buku. Ibunya menunggui disampingnya. Tampak penuh kasih
membelai rambut anak perempuannya. Sesekali terdengar percakapan antara
keduanya.
“Bu, aku rindu nenek.” Ucapnya memandang perempuan di sampingnya yang terbiasa di panggil Ibu Dian.
“Insya Allah, kita pasti bisa menjenguk nenek, sayang.” Ibunya menjawab bijak meyakinkan keluhan permata hatinya.
“Kapan, Bu?”
“Nanti
ya, nak. Menunggu ayah punya cukup uang untuk menjenguk nenek.” Sahut
Ibunya lembut. Aini, gadis bermata bening itu pun mengangguk mengerti.
Aini tak pernah memaksa orang tuanya untuk menuruti semua keinginanya,
meski ia anak tunggal.
***
Aini berangkat sekolah dengan jalan
kaki. Jarak rumah dengan sekolahnya tak begitu jauh. Meski bukan di
lingkungan perumahan yang mewah seperti teman-teman lainnya. Dia pun tak
mengeluh atau merasa malu. Teman-temannya pun baik terhadap dia. Tak
ada yang mengolok-olok keadaanya.
“Rumah Aini jelek…elek…!” kalimat
seperti itu tak pernah terlontar dari bibir temannya. Justru banyak
teman Aini yang ingin main bersama di rumahnya yang sederhana. Aini
selalu ingat pesan Ibunya.
“Bukan rumah mewah yang membuat kita
bahagia, nak. Tapi hati kita bahagia dan merasa nyaman menempatinya
meski sederhana.” Aini mendengarkan dan mengingat dalam benaknya.
“Aini bersyukur punya rumah seperti ini, Bu.” Sahutnya polos.
“Maafkan Ibu sayang. Belum bisa memberikan lebih dari ini dan membuatku bahagia.”gumam hati Ibu Dian.
***
Sesampai di sekolah ia disambut hangat oleh teman sebangkunya, Nisa.
“Aini…aku punya sesuatu buat kamu.” Ujar Nisa sambil tersenyum.
“Apa Nisa?” Aini ingin tahu.
“Tapi kamu janji harus datang ya?” pinta Nisa masih menyembunyikan sesuatu yang akan diberikan pada Aini.
“Iya, tapi apa dulu? Kenapa harus datang?” Aini masih bingung dengan permintaan Nisa.
“Pokoknya Aini harus datang! Semua teman kita sudah janji akan datang.” Sahutnya lagi.
Nisa
mengambil tas warna biru kesukaannya. Tangannya sibuk merogoh, mencari
sesuatu di dalamnya. Tak berapa lama sambil malu-malu Nisa menemukan
juga benda itu.
“Ini buat Aini.” Nisa menyerahkan selembar kertas berwarna biru dengan hiasan pita dan gambar balon.
“Undangan?” tanya Aini memastikan usai membaca kata-kata yang tertera di atas kertas itu.
“Iya. Minggu depan aku akan ulang tahun Aini.” Jawabnya tersenyum. Mata beninganya berbinar bahagia menyampaikan itu pada Aini.
“Datang ya…” pinta Nisa hingga bunyi bel tanda pelajaran akan dimulai terdengar keduanya.
Aini
menyimpan kertas undangan dalam tasnya. Keduanya menyimak pelajaran
hari itu yang diterangkan guru mereka, Bu Ina. Usai pulang sekolah, Aini
memikirkan undangan ulang tahun Nisa. Kalau ia datang, artinya harus
membawa kado untuk Nisa. Tapi Aini bingung harus memberi kado apa pada
Nisa. Dia tak memiliki uang untuk membeli kado itu. Meminta uang pada
Ibu pun tidak mungkin. Ayahnya hanya seorang tukang becak yang biasa
mangkal di depan komplek perumahan.
Aini ingin sekali datang ke
acara itu. Tapi ia pun tak memiliki baju bagus untuk menghadiri acara
ulang tahun Nisa. Sesampai di rumah, Aini ingin langsung memberitahui
ibunya. Namun diurungkan karena Ibunya sibuk menyiapkan makan siang
untuk dirinya. Usai makan ia mendekati ibunya.
“Bu…”
“Iya, ada apa, nak?” tanya Ibunya memandang Aini.
“Nisa memberikan ini pada Aini.” Ia mengeluarkan undangan dan menyerahkan pada Ibunya.
“Oh, undangan ulang tahun. Lalu?” masih tanya Ibunya dengan kesabaran.
“Aini ingin datang. Tapi…”
“Tapi kenapa sayang?”
“Aini harus bawa kado ya, Bu?” tanya Aini menatap Ibunya sejenak.
Bu Dian menghela nafas, berpikir untuk memberi penjelasan pada Aini.
“Aini ingin memberi apa, nak?” tanya Bu Dian hati-hati.
“Aini
tak punya uang banyak, Bu.” Sahutnya tertunduk. Bu Dian terbungkam. Dia
pun menyadari sisa uang belanjanya tak banyak. Itu saja sudah
disisihkan untuk biaya menjenguk orangtuanya karena Aini merindukan
neneknya.
“Kalau begitu, berikan apa yang Aini punya saja.” Sahut ibunya memberi usulan.
“Iya, Bu.” Aini mengangguk tanda mengerti.
Usai
memberitahu ibunya, Aini berpikir bagaimana caranya bisa memberi kado
untuk Nisa. Uang sakunya pun tak banyak. Tapi Aini sudah biasa diajarkan
kedua orangtuanya untuk belajar menabung. Akhirnya, ia memutuskan untuk
menyisihkan sebagian uang sakunya untuk ditabung.
***
Mendekati
acara ulang tahun Nisa. Aini diam-diam membongkar tabungannya. Terkumpul
uang recehan yang biasa ibunya berikan untuk jajan di sekolah. Aini
tersenyum senang karena bisa melakukan ini demi memberi kado. Ia sengaja
melakukan itu pun karena tak ingin merepotkan ibu dan ayahnya. Aini
mengenggam uang itu menuju toko alat tulis setelah meminta izin pada
Ibunya.
Di depan toko, Aini sibuk mengamati barang-barang yang
berjejer. Ia menyesuaikan dengan jumlah uang yang dibawa. Matanya
tertuju pada sebuah diary biru yang cantik. Lantas ia langsung
membelinya. Sesampai di rumah. ia menyerahkan pada Ibunya. Meminta
bantuan untuk membungkusnya. Ibunya tersenyum bangga atas usaha putrinya
demi memberi kado ulang tahun teman sebangkunya, Nisa.
Keesokan
harinya Aini datang memakai baju sederhana ke acara ulang tahun Nisa.
Nisa sangat bahagia menyambut kedatangan Aini dan tak menyangka akan
memberinya sebuah kado yang terbungkus sederhana namun cantik.
“Terima kasih, Aini.” Ujar Nisa menerima uluran kado dari Aini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar