Bingkisan Biru
Udara di luaran sangat panas. Debu berterbangan membuatku tak
nyaman. Beberapa kali aku sempat terbatuk. Aku ingin segera sampai di rumah.
Tadi suasana di sekolah pun sempat membuatku sebal. Rine mengacuhkanku
sepanjang jam pelajaran. Aku sendiri tak tahu apa salahku. Rine pun tak
sekalipun mau mengatakannya padaku. Aku pun cuek saja terhadap sikapnya yang
mendadak berubah.
Sesampai di rumah aku langsung menghambur ke kamarku. Aku mendapati
bingkisan berpita biru di atas meja belajar. Aku memutar ulang ingatanku. Tadi
pagi bingkisan itu tak pernah ada di situ. Tapi sekarang bertengger manis
menggodaku. Atau aku pernah memesan sesuatu dengan bingkisan terbungkus biru?
Aku menggeleng untuk memastikan pertanyaan pikiranku sendiri. Aku hanya
mengamati bingkisan tersebut. Meraihnya dan tak ada alamat serta nama
pengirimnya. Aku bergegas mencari Mama. Mungkin saja itu hadiah kejutan yang
dikirim papa untukku dari Jepang.
Mama sedang sibuk di dapur. Aku memperhatikan sekilas sedang
membuat kue muffin kesukaanku.
“Hmm, asyik aku bakal makan kue kesukaanku nech.” Sahutku girang.
Mama tersenyum saja menatapku.
“Ma, tau nggak bingkisan di atas meja belajar di kamar Amel dari
siapa?” tanyaku sambil memainkan tepung yang tak terpakai.
“Apa dari Papa?” imbuhku cepat.
“Lho memang nggak ada nama pengirimnya?” Mama balik bertanya
padaku. Aku berhenti memainkan tepung.
“Kalau ada, Amel khan nggak perlu Tanya Mama.” Sahutku. Mama
berhenti sejenak dari kesibukannya. Memandang mukaku yang cemberut tak jelas.
“Terus bingkisannya sudah dibuka?” aku menggeleng sebagai jawaban.
“Mama aneh!” ujarku dalam hati.
“Amel nggak berani buka, karena nggak jelas pengirimnya. Bisa saja
khan Ma, bingkisan itu salah kirim atau antar.”
Mama tersenyum mendengar penuturanku. Aku makin heran dengan
sikapnya.
“Ya sudah, di buka dulu sana. Siapa tahu ada petunjuk nama
pengirimnya.” Usul Mama sembari kembali mengaduk adonan kue.
Usul Mama ada benarnya sech.
“Iya dech…” jawabku akhirnya. Aku kembali ke kamar mengambil
bingkisan biru itu. Membukanya hati-hati agar pembungkusnya tidak rusak.
Pikirku, andai bingkisan ini salah kirim. Aku masih bisa membungkus ulang dan
mengirimkan pada pemiliknya.
Seusai berhasil membuka pembungkusnya. Aku terkejut bukan main
dengan isinya. Sepotong busana muslimah model gamis warna biru. Dihiasi border
bunga mawar cantik. Serta selembar jilbab dengan hiasan manic-manik di
pinggirannya.
“Subhanllah…cantik!” pujiku dalam hati.
Ah, Mama pasti akan memuji hal yang sama tentang gamis ini. Eits,
aku nyaris terlupa tujuanku membuka bingkisan ini. Mencari alamat dan nama
pengirim. Aku mengubek-ubek isi kardus. Mencoba menemukan sesuatu, setidaknya
secarik kertas yang bisa menjadi petunjuk. Berhasil. Lipatan kertas warna biru
terselip di dasar kardus. Aku mengambil dan membaca tulisan yang tertulis
dikertas tersebut. Tulisan tangan rapi dan indah dengan tinta warna biru.
Selamat milad sayang…
Semoga sisa umur Amel menjadi berkah.
Makin rajin ibadah dan jadi muslimah
sholehah, amin.
Tertanda: Farisha Kamil SE
“Mama?” aku nyaris menjerit
kegirangan. Namun terburu menemui mama di dapur.
“Alhamdulilah, makaseh ya, Ma.
Bikingkisan birunya indaaaaah banget deh. Amel suka.” Ucapku sambil memeluk
manja mama dari belakang. Mama membalikkan badanya setelah kulepaskan. Mama
tersenyum bahagia. Terlebih lagi aku sangat bahagia menjadi putri mama.
Tak lama kemudian telepon rumah
berdering. Ternyata suara papa di seberang memberiku ucapan untuk hari lahirku.
Aku mengucapkan terima kasih padanya serta menodong hadiah darinya, tentu saja
dengan gaya bercandaku. Papa janji sudah menyiapkan untukku.
Seusai aku menutup telepon dari
Papa. Dering kedua berbunyi nyaring. Aku mengangkat enggan.
“Selamat ulang tahun Amel…maaf ya
tadi di sekolah sengaja nyuekin kamu” suaranya riang di seberang telepon tanpa
dosa.
“ Jadi, sengaja nyuekin karena aku
ultah?” suara terkekeh memekakkan telingaku.
“Dasar Rine jelek!” sahutku
membalas kejutanya lalu berterima kasih atas doa dan ucapannya.
Yogyakarta, 19 Maret 2011
0 comments: